Hari-harinya dijalani dengan murung. Ia yang dulu dikenal sebagai gadis periang kini berubah total.
Hari ini, rumah Nita dipenuhi pelayat. Nita bersama adik-adiknya resmi menyandang predikat yatim piyatu. Ayahnya ikut meninggal dunia menyusul ibunya. Tentu Nita akan semakin sedih dan murung, bukan...?
Ternyata tidak.Tidak tampak tanda-tanda kesedihan pada wajah gadis remaja itu. Bahkan, tidak dapat disembunyikan olehnya adanya persaan seolah-olah terbebas dari suatu tekanan batin. Kesan ini ditangkap oleh para pelayat, tidak terkecuali oleh Ani, sahabatnya. Melihat hal itu, Ani memberanikan diri bertanya.
"Kamu kok tampaknya tidak sedih ayahmu meninggal, Nit...?" tanya Ani hati-hati, takut tersinggung.
"Ya, seperti yang kamu lihat, An... Aku memang tidak sedih, tapi justru gembira..." Jawab Nita terus terang.
Tentu hal itu mengejutkan sahabatnya. "Kenapa begitu, Nit...?" tanya Ani lagi. "Bukankah bebanmu sekarang akan lebih berat...? Kamu sekarang harus mengurus adik-adikmu sendirian..."
"Selama ini mengurus adik-adik tidak menjadi beban bagiku... tapi, menggantikan tugas ibu di tempat tidurlah yang membuat aku tertekan lahir dan batin..."