Senin, 16 Februari 2009

MENGGANTIKAN PERAN IBU

Nita sekarang masih duduk di kelas dua SMA. Ibunya sudah meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Sebelum meninggal dunia, ibunya berpesan untuk menggantikan perannya sebagai ibu rumah tangga. Memang berat baginya. Ia harus mengurusi ayah dan tiga orang adik yang badung-badung nggak ketulungan. Dalam benaknya ia berpikir, masak iya sih saya harus menggantikan peran ibu? Dia coba bertanya pada teman-teman, kerabat, dan bahkan kepada ulama. "Iya..., Nit. Sebagai anak sulung, perempuan, kamu memang harus menggantikan peran ibumu. Itu kalau kamu tidak mau menjadi anak durhaka." Begitu jawaban mereka.

Hari-harinya dijalani dengan murung. Ia yang dulu dikenal sebagai gadis periang kini berubah total.

Hari ini, rumah Nita dipenuhi pelayat. Nita bersama adik-adiknya resmi menyandang predikat yatim piyatu. Ayahnya ikut meninggal dunia menyusul ibunya. Tentu Nita akan semakin sedih dan murung, bukan...?

Ternyata tidak.Tidak tampak tanda-tanda kesedihan pada wajah gadis remaja itu. Bahkan, tidak dapat disembunyikan olehnya adanya persaan seolah-olah terbebas dari suatu tekanan batin. Kesan ini ditangkap oleh para pelayat, tidak terkecuali oleh Ani, sahabatnya. Melihat hal itu, Ani memberanikan diri bertanya.

"Kamu kok tampaknya tidak sedih ayahmu meninggal, Nit...?" tanya Ani hati-hati, takut tersinggung.

"Ya, seperti yang kamu lihat, An... Aku memang tidak sedih, tapi justru gembira..." Jawab Nita terus terang.

Tentu hal itu mengejutkan sahabatnya. "Kenapa begitu, Nit...?" tanya Ani lagi. "Bukankah bebanmu sekarang akan lebih berat...? Kamu sekarang harus mengurus adik-adikmu sendirian..."

"Selama ini mengurus adik-adik tidak menjadi beban bagiku... tapi, menggantikan tugas ibu di tempat tidurlah yang membuat aku tertekan lahir dan batin..."


0 comments: